Harun Masiku: Kisah Buronan yang Menggoyahkan Penegakan Hukum di Indonesia

Pada hari Rabu, 18 Desember 2024, Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil dan memeriksa mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly hampir tujuh jam. Penyidik KPK mencecar mengenai data perlintasan Harun Masiku di Bandara Soekarno-Hatta pada Januari 2020.

Kasus Harun Masiku menjadi salah satu cerita paling kontroversial dalam lanskap hukum dan politik di Indonesia. Sejak ditetapkan sebagai buronan KPK pada Januari 2020, Harun Masiku belum juga berhasil ditangkap, menimbulkan banyak tanda tanya tentang efektivitas penegakan hukum di tanah air. Apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana kita bisa memahami kasus ini dari perspektif hukum?

Kronologi Singkat

Harun Masiku adalah mantan calon legislatif dari PDI-P yang mencalonkan diri dalam Pemilu 2019 dari Dapil Sumatera Selatan I. Setelah gagal meraih kursi DPR, nama Harun mencuat dalam skandal suap yang melibatkan mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan. Skandal ini bermula dari upaya Harun untuk mendapatkan posisi di DPR melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW). Padahal, posisi tersebut seharusnya diberikan kepada Riezky Aprilia, yang meraih suara terbanyak setelah calon utama meninggal dunia.

Dalam upaya meloloskan PAW tersebut, Harun diduga menyuap Wahyu Setiawan sebesar Rp 600 juta dari total komitmen Rp 1,5 miliar. Operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK mengungkap kasus ini, tetapi Harun berhasil menghilang dan hingga kini masih buron.

Dimensi Hukum Kasus Harun Masiku

Kasus Harun Masiku mencakup berbagai aspek hukum yang kompleks dan menggambarkan tantangan sistem hukum dalam memberantas korupsi. Berikut ini adalah analisis mendalam atas dimensi hukumnya:

1. Suap dalam Pemilihan Umum (Pasal 5 dan Pasal 11 UU Tipikor)

Tindakan Harun Masiku melibatkan unsur-unsur yang jelas dari tindak pidana suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyuapan ini bertujuan untuk memengaruhi proses keputusan Komisioner KPU agar Harun dapat diloloskan dalam pergantian antarwaktu (PAW). Uang sebesar Rp 600 juta yang diterima oleh Wahyu Setiawan menjadi bukti kunci adanya niat koruptif dalam tindakan ini. Selain itu, pola ini mencerminkan pelanggaran integritas penyelenggara pemilu, yang seharusnya netral dan bebas dari tekanan politik maupun finansial.

2. Status Buronan dan Red Notice

Sejak Januari 2020, Harun Masiku telah ditetapkan sebagai buronan dengan status daftar pencarian orang (DPO). Interpol juga menerbitkan red notice, tetapi pelaksanaannya terhambat oleh berbagai faktor, termasuk lemahnya koordinasi antara lembaga penegak hukum nasional dan internasional. Ketidakefektifan red notice dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen lembaga terkait untuk menegakkan hukum secara konsisten. Situasi ini juga mengindikasikan perlunya evaluasi mekanisme pelacakan buronan melalui teknologi canggih dan peningkatan kerja sama lintas negara.

3. Politisasi Penegakan Hukum

Dimensi politis dari kasus ini tidak dapat diabaikan. Sebagai kader partai besar, Harun Masiku berada dalam pusaran konflik kepentingan antara kebutuhan penegakan hukum dan sensitivitas politik. Ada spekulasi bahwa pengungkapan kasus ini digunakan sebagai alat untuk menyerang PDI-P, terutama menjelang kongres partai yang strategis. Sebaliknya, kelambanan penangkapan Harun juga memunculkan dugaan adanya perlindungan politis, sehingga menimbulkan skeptisisme terhadap independensi aparat penegak hukum. Dimensi ini menekankan pentingnya menjaga integritas dan profesionalisme dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan tokoh politik.

4. Tantangan dalam Penegakan Hukum

Hambatan Operasional: Lamanya waktu pencarian Harun mengindikasikan adanya kendala operasional yang serius, termasuk kurangnya sumber daya manusia yang terlatih dan teknologi pelacakan yang memadai. Peran KPK sebagai lembaga anti-korupsi juga dipertanyakan, mengingat reputasinya sebagai lembaga yang sebelumnya sangat efektif dalam menindak kasus-kasus besar.

Integritas Lembaga Penegak Hukum: Gagalnya penangkapan Harun hingga kini menjadi indikator adanya kelemahan dalam integritas dan efektivitas lembaga penegak hukum. Hal ini mempertegas perlunya reformasi di internal lembaga hukum untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum.

Dampak dan Pelajaran yang Dapat Dipetik

Kepercayaan Publik yang Tergerus: Lambatnya penanganan kasus ini semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini menjadi simbol lemahnya komitmen pemberantasan korupsi.

Perlu Reformasi Sistem Pencarian Buronan: Pemerintah harus mengadopsi teknologi mutakhir dan meningkatkan kerja sama internasional untuk memastikan red notice tidak hanya menjadi formalitas belaka.

Pentingnya Transparansi: Penegakan hukum harus dilakukan secara transparan untuk menghindari persepsi bahwa kasus ini digunakan sebagai alat politik oleh pihak tertentu.

Kesimpulan

Kasus Harun Masiku mencerminkan kompleksitas hubungan antara hukum dan politik di Indonesia. Di satu sisi, ini adalah kasus kriminal yang melibatkan tindak pidana suap. Di sisi lain, kasus ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat terpolitisasi, baik melalui intervensi kekuasaan maupun manipulasi opini publik.


Penyelesaian kasus ini bukan hanya soal menangkap Harun Masiku, tetapi juga tentang memulihkan integritas sistem hukum dan politik Indonesia. Penegakan hukum yang tegas dan adil adalah kunci untuk memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga kenyataan.


Comments