Hapus Presidential Threshold: Langkah Menuju Demokrasi yang Lebih Inklusif

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang sebelumnya mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Pertimbangan MK:

  1. Hak Konstitusional Partai Politik, MK menilai bahwa ketentuan ambang batas tersebut membatasi hak konstitusional partai politik peserta pemilu, terutama partai baru, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

  2. Kedaulatan Rakyat, Pembatasan ini dianggap mengurangi alternatif pilihan bagi pemilih, sehingga membatasi kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpin nasional.

  3. Moralitas dan Keadilan, MK berpendapat bahwa ambang batas tersebut melanggar prinsip moralitas dan keadilan yang seharusnya dijunjung dalam proses demokrasi.

Dampak Putusan:
  • Peluang lebih luasDengan dihapuskannya ambang batas ini, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, membuka peluang lebih luas bagi munculnya calon alternatif.

  • Potensi Lebih Banyak Calon, Tanpa ambang batas, ada kemungkinan jumlah pasangan calon meningkat signifikan, yang dapat mempengaruhi dinamika pemilihan presiden.

Pedoman MK untuk Pembentuk UU:

MK memberikan pedoman bagi pembentuk Undang-Undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak, antara lain:

  1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

  2. Partai politik peserta pemilu dapat bergabung dalam mengusulkan pasangan calon, asalkan tidak menyebabkan dominasi yang membatasi jumlah pasangan calon.

  3. Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan calon dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

  4. Perubahan UU Pemilu harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR.

Tanggapan DPR:

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa DPR akan segera melakukan kajian terkait putusan MK ini untuk menentukan langkah selanjutnya dalam proses legislasi.

Putusan MK ini menandai perubahan signifikan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia, dengan harapan dapat memperkuat demokrasi dan memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat dalam menentukan pemimpin nasional.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menandai perubahan signifikan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia. Dari perspektif hukum tata negara, keputusan ini memiliki implikasi mendalam terhadap prinsip demokrasi, sistem presidensial, dan dinamika politik nasional.

1. Prinsip Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

Sebelumnya, presidential threshold mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik memiliki minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini dianggap membatasi hak konstitusional partai politik, terutama partai baru atau kecil, dalam mengusulkan calon, sehingga mengurangi alternatif pilihan bagi pemilih. Dengan dihapuskannya ambang batas ini, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon, yang diharapkan dapat memperkaya pilihan bagi rakyat dan memperkuat prinsip kedaulatan rakyat.

2. Penguatan Sistem Presidensial

Dalam sistem presidensial, legitimasi presiden berasal langsung dari rakyat melalui pemilihan umum. Penerapan presidential threshold sebelumnya dikritisi karena lebih mencerminkan karakteristik sistem parlementer, di mana eksekutif bergantung pada dukungan legislatif. Penghapusan ambang batas ini dianggap sebagai langkah menuju pemurnian sistem presidensial Indonesia, di mana presiden terpilih memiliki legitimasi langsung dari rakyat tanpa intervensi atau pembatasan dari konfigurasi politik di parlemen.

3. Potensi Fragmentasi Politik

Meskipun penghapusan presidential threshold membuka peluang lebih luas bagi partai politik untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden, hal ini juga berpotensi meningkatkan jumlah kandidat dalam pemilihan. Konsekuensinya, suara pemilih dapat terfragmentasi, meningkatkan kemungkinan pemilihan presiden berlangsung dalam dua putaran jika tidak ada kandidat yang mencapai mayoritas absolut. Situasi ini dapat memperpanjang proses pemilihan dan memerlukan sumber daya tambahan.

4. Tantangan dalam Stabilitas Pemerintahan

Tanpa ambang batas, presiden terpilih mungkin berasal dari partai dengan dukungan minoritas di parlemen, yang dapat mempersulit proses legislasi dan pengambilan kebijakan. Ketiadaan dukungan mayoritas di DPR berpotensi menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif, menghambat efektivitas pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme checks and balances yang kuat untuk menjaga stabilitas dan kelancaran fungsi pemerintahan.

5. Implikasi terhadap Regulasi Pemilu

Putusan MK ini menuntut penyesuaian dalam regulasi pemilu, khususnya terkait mekanisme pencalonan presiden dan wakil presiden. Pembentuk undang-undang perlu merumuskan aturan baru yang memastikan proses pencalonan tetap terstruktur dan tidak menimbulkan kerancuan, serta mencegah potensi penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, diperlukan upaya untuk mencegah munculnya calon dengan latar belakang yang tidak kompeten atau memiliki rekam jejak yang meragukan.

6. Perspektif Akademis

Beberapa akademisi menyambut baik putusan ini sebagai langkah progresif dalam demokratisasi Indonesia. Prof. Umbu Rauta, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana, menyebut keputusan MK sebagai langkah berani yang sejalan dengan semangat demokrasi. Namun, ia juga mengingatkan perlunya kesiapan sistem politik dalam menghadapi dinamika baru pasca-putusan ini.

7. Rekomendasi untuk Masa Depan

  • Penguatan Pendidikan Politik: Masyarakat perlu diberikan edukasi politik yang memadai agar dapat memilih calon pemimpin secara rasional dan bertanggung jawab.

  • Peningkatan Kualitas Partai Politik: Partai politik harus meningkatkan kapasitas dan integritasnya dalam mengusung calon, memastikan bahwa kandidat yang diajukan memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik.

  • Penataan Sistem Pemilu: Pembuat undang-undang perlu merumuskan mekanisme pemilu yang efektif untuk mengakomodasi perubahan ini, termasuk kemungkinan peningkatan jumlah calon dan implikasinya terhadap proses pemilihan.

Secara keseluruhan, penghapusan presidential threshold oleh MK merupakan tonggak penting dalam evolusi hukum tata negara Indonesia. Keputusan ini membuka peluang bagi demokratisasi yang lebih inklusif, namun juga menuntut kesiapan dari berbagai elemen bangsa untuk memastikan bahwa perubahan ini membawa dampak positif bagi sistem pemerintahan dan kehidupan politik Indonesia.

Comments